Asumsi Dasar Liberalisme: Studi Kasus Konflik Laut China Selatan



Pada Maret 2009, Pentagon melaporkan bahwa terdapat kapal milik China yang mengganggu kapal pengawasan dari United States Naval Ship (USNS) yang melintas di Laut China Selatan. Pada tanggal 26 Mei 2011 muncul pertikaian antara kapal Vietnam dengan tiga kapal marinir patroli China karena pemotongan kabel kapal. April 2012, kapal perang Filipina yang bernama Gregorio del Pilar bertikai dengan dua kapal pengawas China di kawasan Scarborough, yang diakui sebagai teritori kedua negara. Peristiwa-peristiwa yang terjadi tersebut merupakan bagian dari sebuah peristiwa besar yang dikenal sebagai Konflik Laut China Selatan.

Konflik Laut China Selatan adalah konflik perbatasan yang melibatkan lima negara yang terdiri dari China, Vietnam, Philipina, Malaysia, dan Brunei. Konflik ini bermula di tahun 1992 ketika China yang pada waktu itu kekuatan ekonomi dan militernya mulai menanjak naik tiba-tiba mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan sebagai wilayah teritorinya. Permasalahan pun muncul karena empat negara lainnya, yakni Vietnam, Philipina, Malaysia, dan Brunei merasa bahwa wilayah yang diklaim oleh China merupakan teritori mereka juga. Permasalahan kemudian menjadi semakin parah karena Laut China Selatan merupakan jalur perdagangan internasional yang strategis, sehingga negara-negara di luar kawasan tersebut, seperti Amerika Serikat, memiliki kepentingan untuk menjaga keamanan di Laut China Selatan. Keadaan ini menunjukkan bahwa telah terjadi benturan kepentingan nasional dari negara-negara yang terlibat dalam Konflik Laut China Selatan.

Pada dasarnya, benturan kepentingan merupakan sesuatu hal yang biasa terjadi dalam sistem internasional anarkis. Sebab dalam sistem yang anarkis, tidak ada satu kekuatan besar yang dapat mengkoordinir semua aktor yang berinteraksi di dalamnya. Ilmu Hubungan Internasional selalu berusaha untuk memahami situasi tersebut melalui teori-teorinya. Salah satu teori paling awal yang digunakan sarjana Hubungan Internasional untuk menjelaskan dan memberikan solusi bagi situasi seperti yang terjadi dalam Konflik Laut China Selatan adalah Teori Liberalisme.

Tulisan ini merupakan tulisan deskriptif yang akan menjelaskan bagaimana Liberalisme memandang konflik Laut China Selatan. Untuk melakukannya, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu asumsi dasar dari teori Liberalisme terhadap situasi konflik di tingkat internasional. Setelah itu, penulis akan menjelaskan mengenai Konflik Laut China Selatan tersebut menggunakan asumsi dasar teori Liberalisme.

Asumsi Dasar Liberalisme

Liberalisme menyadari bahwa sistem internasional dimana negara-negara saling berinteraksi merupakan sebuah sistem yang anarkis. Namun, Liberalisme tidak mau menerima keadaan itu begitu saja. Mereka percaya, bahwa harus ada usaha yang dilakukan untuk membuat dunia menjadi lebih tidak anarkis. Hal ini penting karena mereka beranggapan bahwa dunia yang tidak anarkis akan memungkinkan adanya kerjasama di antara negara-negara. Kerjasama penting karena mereka percaya bahwa hanya melalui kerjasamalah semua pihak akan merasa mendapat manfaat yang maksimal. Selain itu, kerjasama di antara negara sangatlah relevan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh sebab itu, perang bagi mereka bukanlah sebuah opsi karena hanya memberikan keuntungan bagi salah satu pihak dan mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam memandang negara, Liberalisme memiliki asumsi bahwa setiap negara pada dasarnya adalah baik. Bahwa setiap negara pada dasarnya memiliki keinginan untuk hidup dengan damai dan tenteram bersama negara-negara lainnya. Kendati demikian, negara tetap tidak dapat mewujudkan keinginannya karena adanya rasa tidak percaya terhadap negara lainnya, sehingga sering terjadi konflik di antara negara karena kesalahpahaman. Dengan berlandaskan pada asumsi tersebut, Liberalisme berargumen bahwa solusi untuk mengurangi keanarkisan dunia adalah dengan meningkatkan rasa saling percaya di antara negara.

Untuk meningkatkan rasa saling percaya, Liberalisme percaya bahwa dibutuhkan suatu institusi yang bersifat legal formal, namun tidak mengikat anggotanya yang mana merupakan negara. Institusi tersebut harus mampu menciptakan sebuah hukum yang pembuatannya dilandasi oleh kepentingan dan pandangan seluruh anggotanya. Dengan begitu, negara-negara pun akan mematuhi hukum yang dibuat dengan sukarela. Ide inilah yang kemudian membuat terciptanya organisasi internasional yang bernama LBB dan PBB.

Pada prakteknya, Liberalisme menempatkan organisasi internasional sebagai aktor yang paling penting dalam sistem internasional. Hal ini tercermin dari bagaimana mereka percaya organisasi internasional dapat menjadi sarana untuk melakukan komunikasi di antara negara-negara sehingga rasa saling percaya dapat tumbuh. Selain itu, mereka juga percaya bahwa hukum internasional yang dibuat oleh organisasi internasional dapat dijadikan landasan utama seandainya terjadi suatu konflik di antara negara-negara yang bertikai.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga asumsi dasar dari Liberalisme: (1) Penekanan pada kerjasama antarnegara; (2) Pandangan positif terhadap sifat alamiah negara; (3) Kepercayaan penuh terhadap fungsi dari organisasi dan hukum internasional.

Konflik Laut China Selatanm Kerangka Berpikir Liberalisme

Pada dasarnya, Konflik Laut China Selatan merupakan benturan kepentingan antara lima negara: China, Vietnam, Philipina, Malaysia, dan Brunei. Benturan kepentingan terjadi karena adanya sumber daya yang melimpah di area Laut China Selatan dan fakta bahwa area tersebut merupakan jalur perdagangan internasional yang strategis. Liberalisme tidak akan mengelak bahwa terjadinya benturan kepentingan dalam situasi seperti itu adalah sesuatu hal yang wajar jika terjadi. Namun, Liberalisme tidak akan dapat mentolerir aksi China yang kemudian menggunakan kekuatan militer untuk mengatasi benturan kepentingan tersebut. Secara normatif, Liberalisme akan mengatakan bahwa China seharusnya mengedepankan dialog dengan empat negara lain yang juga mengklaim wilayah Laut China Selatan. Dengan adanya dialog, Liberalisme percaya bahwa gerbang menuju kerjasama yang menguntungkan semua pihak akan terbuka.

Terhadap empat negara selain China, Liberalisme akan menekankan bahwa China tidak memiliki niat jahat dalam hal klaim-nya terhadap Laut China Selatan. Liberalisme akan berpendapat bahwa klaim China terhadap Laut China Selatan terjadi karena adanya kesalahpahaman dari China yang tidak menyadari bahwa telah ada sebuah hukum internasional yang mengatur batas-batas dari wilayah lautan sebuah negara secara tegas. Menghadapi China yang seperti itu, Liberalisme akan menekankan bahwa tidak seharusnya Philipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei menjadi berprasangka buruk dan kemudian ikut menggunakan kekerasan. Sebaliknya mereka harus memulai proses dialog dengan China untuk menyelesaikan segala kesalahpahaman yang telah terjadi. Oleh sebab itu, terkait usaha Indonesia yang berusaha untuk mempersatukan Philipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia di bawah ASEAN agar dapat melakukan proses dialog dengan China akan sangat didukung oleh Liberalisme.

Sebagai solusi konkret, Liberalisme akan menyarankan negara-negara yang berkonflik untuk membawa kasusnya ke Sidang Majelis Umum PBB agar seluruh dunia dapat memberikan pendapatnya terkait konflik tersebut. Kemudian, untuk membuat sebuah keputusan yang mengikat, maka negara-negara tersebut harus membawa kasusnya ke Mahkamah Internasional, khususnya Mahkamah Internasional Kelautan, agar Konflik Laut China Selatan dapat diselesaikan melalui jalur hukum. Dalam hal ini, United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS), yang mengatur mengenai pembagian batas tegas wilayah teritori kelautan negara, dipandang Liberalisme sebagai instrumen yang paling objektif untuk menyelesaikan Konflik Laut China Selatan. Melalui penilaian UNCLOS dan hasil persidangan, maka akan ditemukan sebuah keputusan mengikat yang akan memberikan keuntungan bagi semua pihak. Oleh sebab itu, Liberalisme akan sangat mendukung usaha Philipina yang bertekad untuk membawa Konflik Laut China Selatan ke Mahkamah Internasional agar diselesaikan melalui UNCLOS.

Dari pemaparan di atas dapat ditemukan tiga argumen utama yang akan diajukan Liberalisme terkait Konflik Laut China Selatan: (1) China tidak seharusnya menggunakan kekerasan, melainkan harus mengedepankan dialog dan kerjasama; (2) Negara-negara yang bertikai tidak boleh berprasangka buruk kepada China dan harus mengedepankan dialog untuk menyelesaikan kesalahpahaman; (3) Negara-negara yang berkonflik harus membawa kasus tersebut ke tingkat PBB agar dapat ditemukan satu keputusan yang menguntungkan semua pihak. dala

Kesimpulan

Dari semua asumsi dasar dan argument yang dimiliki oleh Liberalisme untuk menjelaskan Konflik Laut China Selatan, dapat disimpulkan bahwa Liberalisme adalah sebuah pemikiran yang sangat bertentangan dengan logika umum kebanyakan orang. Hal ini ditunjukkan dari bagaimana mereka masih mengharapkan China untuk tidak menggunakan kekerasan kendatipun mereka memang kuat secara militer atau dari bagaimana mereka bersikeras mengatakan bahwa China tidak memiliki maksud jahat kendatipun mereka jelas-jelas melakukan kekerasan.

Melalui kesimpulan ini, bukan berarti bahwa Liberalisme adalah sebuah pemikiran yang berusaha lari dari kenyataan atau utopis menurut teori Realisme. Namun, Liberalisme adalah sebuah pemikiran yang berusaha untuk mengubah status quo ke arah yang lebih baik berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini ditunjukkan dari bagaimana mereka pemikiran mereka berusaha untuk membuat dunia menjadi lebih tidak anarkis, dimana negara-negara dapat menyelesaikan segala sesuatunya melalui kerjasama atau hukum.


Comments

Popular posts from this blog

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah

Donald E. Weatherbee: 50 Tahun ASEAN Bukanlah Indikator Keberhasilan Regionalisme

Max Lane: The Impossibility of Citizenship

Pekerja Rumah Tangga, Advokasi Transnasional dan Kondisi Pengecualian