Awal dari Kejatuhan: Perkembangan Diskursus Anti-Komunisme di Ruang Publik Vietnam Pasca-Doi Moi


Komunisme telah gagal di Vietnam. Begitulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan oleh Pangeran Nguyen Phuc Buu Chanh, seorang bangsawan dari Dinasti Nguyen, dalam press release-nya pada 14 November 2004 yang berjudul The Failure of Communism in Vietnam. Pangeran Nguyen, dalam press release tersebut, menekankan bahwa komunis telah gagal memenuhi janjinya untuk menciptakan masa depan dimana rakyat akan berkuasa, bebas, dan hidup makmur di dalam surga komunal. Bukannya memberikan surga komunal, komunis justru menciptakan sebuah negara yang dikuasai hanya oleh elit partai, tidak memiliki kebebasan, dan tidak menjamin hak-hak warga. Lebih lagi, komunis juga telah merampas kebudayaan tradisional Vietnam dan memaksa masyarakat untuk menerima kebudayaan komunis. Menyikapi hal ini, Pangerang Nguyen menyuarakan bahwa semua orang yang merasa bebas harus mengutuk pemerintahan Vietnam yang membiarkan hal tersebut terjadi. Hal yang sama juga dikatakan oleh Tran Bach Dang, seorang pejabat komunis di pemerintahan Vietnam, Dr. Duong Quynh Hoa, seorang pemimpin tinggi Vietminh, dan Kolonel Bui Tin, seorang anggota militer Vietnam. Semua orang-orang berpengaruh tersebut secara publik telah menyuarakan penentangan mereka terhadap komunisme di Vietnam.

Berbagai ungkapan-ungkapan yang disampaikan di atas menunjukkan bahwa diskursus antikomunisme telah berkembang di ruang publik Vietnam. Perkembangan diskursus ini tentunya sangat tidak lazim mengingat Vietnam secara resmi masih merupakan negara komunis dan Partai Komunis Vietnam (VCP) masih memegang kendali penuh atas ruang publik Vietnam. Peristiwa ini tentunya menimbulkan pertanyaan, “Bagaimana diskursus antikomunisme dapat berkembang di dalam ruang publik Vietnam?”

Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu disadari bahwa Vietnam hari ini tidaklah sama seperti Vietnam pada masa Perang Dingin. Sebab Vietnam hari ini telah mengalami serangkaian liberalisasi ekonomi melalui kebijakan Doi Moi yang diterapkan semenjak tahun 1986. Liberalisasi ekonomi ini telah mengubah struktur ekonomi Vietnam yang sebelumnya sangat berpusat pada rancangan pemerintah menjadi berpusat pada mekanisme pasar. Hasilnya, Vietnam mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat dalam 20 tahun terakhir dan masyarakat kelas menengah pun bertumbuh dengan pesat sebagai dampaknya.

Makalah ini berargumen bahwa liberalisasi ekonomi yang dilakukan di Vietnam melalui kebijakan Doi Moi berpengaruh pada pembentukan diskursus antikomunisme di dalam ruang publik Vietnam. Untuk membuktikan argumen tersebut, pembahasan dalam makalah ini akan dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama akan menjelaskan kerangka pemikiran dari makalah ini. Teori pembentukan ruang publik yang diciptakan oleh Jurgen Habermas menjadi pilihan penulis sebagai kerangka pemikiran dari makalah ini. Bagian kedua akan memaparkan secara singkat mengenai sejarah terciptanya kebijakan Doi Moi dan dampak-dampak yang diberikannya pada pertumbuhan perekonomian Vietnam. Pemaparan akan difokuskan pada dampak kebijakan Doi Moi terhadap kemunculan dan peningkatan masyarakat kelas menengah serta perubahan gaya hidup yang dialami mereka. Bagian ketiga akan menganalisis bagaimana kemunculan masyarakat kelas menengah baru tersebut dapat membentuk ulang ruang publik Vietnam dan menciptakan diskursus antikomunisme. Analisis akan bersifat komparatif dengan membandingkan ruang publik Vietnam sebelum dan sesudah Doi Moi. Bagian keempat akan menyimpulkan hasil analisis di bagian ketiga.



Kerangka Pemikiran

Konsep tentang ruang publik pada awalnya diperkenalkan oleh seorang filosof asal Jerman, Jürgen Habermas. Dalam tesisnya, The Structural Transformation of the Public Sphere, Ia mendefinisikan ruang publik sebagai ‘sebuah ruang dari lembaga dan praktek yang berada diantara kepentingan pribadi yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dalam sebuah masyarakat sipil dengan kekuasaan Negara. Ruang publik memungkinkan masyarakat untuk berinteraksi dan menciptakan diskursus publik.

Lebih lanjut Habermas menjelaskan bahwa publik sphere terdiri dari ‘lembaga informasi dan debat politik ... termasuk lembaga-lembaga yang mewadahi diskusi politik’. Lembaga informasi ini merujuk kepada media massa. Sementara lembaga yang mewadahi diskusi politik adalah parlemen, organisasi politik, pertemuan publik, dan ranah publik lainnya dimana terjadi debat sosial-politik.

Pernyataan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa, media sebagai bagian dari public sphere mempunyai dua fungsi yaitu sebagai sumber informasi dan sebagai tempat bagi masyarakat untuk dapat melakukan perdebatan terhadap isu - isu yang menjadi perhatian mereka. Meskipun demikian kedua fungsi tersebut saling terkait dan sangat sulit untuk dibedakan karena dalam perdebatan juga terjadi pertukaran ide - ide dan informasi. Sehingga, penulis beranggapan bahwa media dapat dikatakan bertindak sebagai unsur dari ruang publik ketika mereka menyebarkan informasi yang berkaitan dengan pemikiran dan pendapat masyarakat maupun ketika menyediakan ruang bagi perdebatan isu - isu publik.

Habermas yakin bahwa keberadaan public sphere sangat penting bagi sebuah masyarakat yang demokratis. Namun, terdapat beberapa kriteria yang ditentukan Habermas terkait konsepsi ruang publik yang ideal dan dapat mendukung berdiri serta berkembangnya demokrasi. Pertama, ruang publik, sesuai namanya, harus dapat diakses oleh seluruh penduduk negara, tidak boleh hanya dikuasai oleh sekelompok elit.

Kedua, di dalam ruang publik harus terdapat aktivitas perdebatan yang berdasarkan pada argumen rasional dan bersifat konstruktif. Agar perdebatan tersebut dapat berjalan dengan lancar, Habermas menekankan pentingnya penghilangan segala bentuk status sosial, seperti: agama, kedudukan, dan ras, untuk menjaga rasionalitas argumen. Dengan adanya perdebatan yang rasional di antara seluruh penduduk negara, maka diskursus publik akan mengalami kritik dan perbaikan. Hasilnya, ruang publik ini akan menciptakan sebuah diskursus yang matang dan dapat diterima oleh seluruh penduduk. Dengan kata lain, ruang publik yang ideal bagi pelaksanaan demokrasi adalah ruang publik yang dapat menciptakan diskursus publik berkualitas dan memililiki partisipasi debat yang tinggi.

Habermas berargumen bahwa kemunculan kelas sosial borjuis berkontribusi paling besar bagi penciptaan ruang publik ideal yang digambarkan melalui penjelasan di atas. Kelas sosial borjuis, dengan kemampuannya untuk memprivatisasi properti, telah menciptakan kafe, salon, dan jurnal politik untuk menantang prinsip feudal tradisional yang sebelumnya mengekang ruang publik. Di dalam kafe, salon, atau jurnal politik milik para borjuis tersebut, tidak ada aturan ataupun status sosial yang dapat membatasi argumen-argumen yang dikeluarkan seseorang untuk berdiskusi. Melalui diskusi tersebut, absolutisme dari feudalisme mulai dipertanyakan. Hal inilah yang kemudian mengarah pada penciptaan diskursus mengenai demokratisasi di Barat pada era modern.

Melalui tesis Habermas, dapat diketahui bahwa ruang publik yang dapat mendukung berdirinya demokrasi adalah ruang publik yang dapat diakses semua orang dan memiliki aktivitas perdebatan yang tinggi yang didasari pada argumen rasional, bukan status sosial. Kemunculan kelas sosial borjuis yang memiliki kemampuan untuk memprivatisasi properti berkontribusi paling besar bagi penciptaan ruang publik ideal yang digambarkan oleh Habermas. Untuk selanjutnya, tesis ini akan digunakan untuk menjelaskan mengenai perubahan ruang publik yang terjadi di Vietnam pasca-Doi Moi.


Doi Moi: Sejarah dan Dampaknya

Pasca Perang Vietnam dan Reunifikasi Vietnam Utara-Vietnam Selatan pada tahun 1975, Vietnam dilanda kemiskinan dan krisis ekonomi. Partai Komunis Vietnam mengalami kegagalan dalam memenuhi janji-janjinya untuk memakmurkan perekonomian Vietnam, yang membuat Sekretaris Jendral Partai Komunis Vietnam saat itu, Nguyen Van Linh mengatakan ‘Renew or Die!’ sehingga akhirnya dicanangkanlah Doi Moi pada bulan Desember tahun 1986.

Doi Moi adalah istilah yang digunakan untuk menyebut 'renovasi' atau 'pembaharuan' bagi perekonomian di Vietnam, yang dicanangkan pada Kongres Nasional ke-6 Partai Komunis Vietnam pada bulan Desember 1986. Ketika itu, Vietnam sedang dilanda permasalahan ekonomi yang amat besar. Walaupun harga barang tetap murah berkat adanya kendali harga yang diberlakukan pemerintah, inflasi tahunan Vietnam mencapai 700%. Akibatnya nilai ekpsor Vietnam menjadi hanya setengah dari nilai barang yang diimpor Vietnam. Berbagai lembaga pemerintahan harus mengalami pengurangan dana untuk tetap mempertahankan biaya militer Vietnam yang tinggi. Hal ini semakin diperparah dengan tidak adanya investasi asing di Vietnam.

Menyikapi permasalahan ekonomi yang amat parah ini, Kongres Partai Keenam di tahun 1986 meluncurkan kebijakan Doi Moi untuk melakukan reformasi total terhadap sistem perekonomian Vietnam. Dengan kebijakan ini, sistem manajemen birokrasi terpusat yang berdasarkan pada subsidi negara pun dihapus, digantikan dengan sistem ekonomi yang bersifat multi-sektor, berorientasi pasar, dan membuka kesempatan bagi sektor swasta untuk bersaing dengan negara dalam sektor-sektor yang tidak strategis. Dengan demikian, peran negara di dalam pasar semakin berkurang, harga barang tidak lagi ditentukan oleh pemerintah, dan ekonomi pasar dapat beroperasi di Vietnam.

Langkah yang dibuat pemerintah Vietnam selanjutnya adalah memperbaharui hak kekayaan intelektual pada tahun 1988, sehingga sektor swasta dapat menjalankan usahanya dengan mendapat jaminan perlindungan dari negara. Setelahnya, reformasi demi reformasi terus dijalankan oleh pemerintah Vietnam yang membuat perekonomian negara tersebut semakin jauh dari perekonomian ala komunis yang dibangun oleh pendirinya. Dengan menerapkan sistem perekonomian pasar bebas, Vietnam pun semakin terdorong untuk membuka perekonomiannya dengan dunia melalui integrasi ekonomi dengan ASEAN, APEC, persetujuan dagang dengan Uni Eropa, dan masih banyak lagi.

Dampak nyata yang dirasakan oleh Vietnam setelah meliberalisasi sistem ekonominya sungguh sangat besar. Data menunjukkan bahwa GDP per kapita Vietnam hari ini telah meningkat menjadi $722 dari hanya $206 di tahun 1990. Persentase warga miskin telah menurun menjadi hanya 19.5% dari 70% di tahun 1980. Human Development Index (HDI) Vietnam telah meningkat menjadi 0.733 dari hanya 0.539 di tahun 1995. Vietnam juga berhasil meningkatkan pemasukan dan standar hidup, melakukan perubahan dari sistem agrikultur ke industri dan jasa, menurunkan tingkat inflasi (paling tinggi pada tahun 1993, dimana Inflasi hanya berjumlah 5%), serta menarik berbagai Investasi asing ke negaranya.

Privatisasi pun mulai semakin marak di Vietnam segera setelah pertumbuhan ekonomi yang sehat di Vietnam mulai terlihat. Pada tahun 1990an, State Owned Enterprises (SEOs) yang memang dipegang penuh oleh pemerintah telah melakukan penyatuan dan konsolidasi dengan lembaga swasta. Jumlah SEOs pun mulai menurun dari 20.000 pada tahun 1991 menjadi kurang dari 6000 SEOs di tahun 1994 (Webster dan Admin, 1998 dalam Ngoc Q. Pham, 2010). Pembaharuan ekonomi ini berhasil membawa Vietnam kepada pembangunan ekonomi pasar hingga Vietnam mengalami perbaikan pada perekonomiannya.

Bank pun telah mengalami privatisasi. Mengenai pengaturan pembentukan bank swasta telah diatur dalam dekrit pada tahun 2009, perubahan Bank Negara menjadi Bank Swasta disebut dengan equitisasi. Perubahan ini tak lain adalah cara untuk meningkatkan daya Tarik investor untuk mau menanamkan sahamnya di beberapa perusahaan. Karena World Trade Organization mengharuskan bagi setiap anggotanya untuk mengubah sistem bank menjadi lebih terbuka, maka Pemerintah Vietnam berinisiatif merubah Bank Negara menjadi Bank Swasta namun tetap mengeluarkan beberapa peraturan mengenai keberadaan Bank Swasta tersebut.


Lahirnya Kelas Menengah Baru Vietnam
Naiknya GDP per kapita Vietnam mengindikasikan bahwa telah terjadi peningkatan kesejahteraan secara makro terhadap warga negara Vietnam. Namun, figur-figur makro hanya mampu menjelaskan sesuatu hal secara keseluruhan tanpa melihat detail-detail kecil, seperti distribusi GDP itu sendiri. Dalam ekonomi pasar bebas, nilai yang paling dihargai adalah nilai meritokrasi. Mereka yang bekerja dengan rajin akan mendapatkan yang lebih banyak dari yang malas. Mereka yang bekerja dengan cerdas akan mendapatkan yang lebih banyak dari yang serampangan. Hal ini kemudian menyebabkan distribusi GDP Vietnam menjadi lebih banyak mengalir pada beberapa orang yang rajin tersebut. Mereka pun mengalami peningkatan kesejahteraan secara drastis dan mengalami lompatan kelas menuju apa yang disebut dengan kelas menengah.

Golongan kelas menengah memiliki akses terhadap internet dan smartphone. Tercatat bahwa penggunaan handphone serta sosial media seperti blog telah mengalami peningkatan di Vietnam. Jumlah pembelian handphone sangatlah tinggi dengan harganya yang murah. Berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa dapat dilihat menggunakan smartphone. Melalui media ini, mereka melakukan berbagai kritikan pada pemerintah Vietnam. Sebagaimana diketahui, Vietnam adalah negara yang memiliki tingkat kebebasan pers yang amat rendah. Media internasional menyebutkan bahwa Vietnam menempati urutan ke-165 dalam hal kebebasan pers. Hal ini terjadi sebagai akibat dari kontrol pemerintahan Vietnam yang di pegang penuh oleh Partai Komunis Vietnam (VCP). Pemerintah Vietnam merasa bahwa pengawasan pada jasa pelayanan internet harus diawasi secara ketat karena jika terlalu dibebaskan akan memudahkan masyarakat untuk melakukan kritik terhadap sistem pemerintahan.

Media yang ada di Vietnam merupakan sebuah media yang dimilki oleh negara. Oleh Karena itu, pada tahun 2006 pemerintah Vietnam mengeluarkan sebuah dekrit mengenai Cultural dan Information Activities. Secara umum peraturan ini menyebutkan bahwa, sebuah informasi baik itu pemerintah, militer, maupun ekonomi yang akan dipublikasikan harus melewati tahap penyaringan oleh pemerintah terlebih dahulu. Media yang mempublikasikan informasinya tanpa melewati penyaingan ini maka akan mendapatkan denda sebesar 2.000 Dollar. Pemerintah telah melakukan beberapa peraturan keras kepada para kritikus yang melakukan aksinya melalui blogger pribadi. Beberapa hukuman berat (penyiksaan, hukuman seumur hidup) di tujukan bagi blogger, dan mereka yang bisa mengakses internet secara illegal. Hal ini menunjukkan bahwa ruang publik di Vietnam sangatlah dibatasi oleh pemerintah Vietnam. Kendati demikian, hal itu tidak menyurutkan beberapa orang untuk tetap menyuarakan kritikannya di internet.

Sebagai bentuk eskalasi dari kritikan-kritikan yang dilakukan di internet, masyarakat Vietnam, terutama golongan kelas menengah, mulai melakukan protes publik. Tercatat bahwa pernah terjadi gerakan nasionalisme dalam bentuk demonstrasi Anti-China selama 10 Minggu dikarenakan sengketa Laut China Selatan yang terjadi di antara China dan Vietnam di Hanoi, yang diizinkan oleh pemerintah. Hal ini sangatlah langka mengingat pemerintah dengan rezim komunis seperti Vietnam sangat ketat dalam hal protes publik. Selain itu, ada juga protes publik yang dilakukan untuk menuntut pembebasan dua warga Katolik yang dianggap tidak melakukan kesalahan namun tetap ditahan oleh polisi Vietnam.


Analisis
Tidak ada yang dapat membantah bagaimana besarnya pengaruh kelas menengah dalam sebuah negara. Mereka adalah golongan yang umumnya terdiri dari orang-orang muda yang masih memiliki ide-ide cemerlang, tubuh yang sehat untuk menjalankannya, dan cukup uang untuk mengakses hal-hal penting, seperti pendidikan dan kebutuhan sekunder. Dengan demikian, menjadi memiliki akses lebih besar untuk pendidikan, informasi, dan yang paling penting, mereka jadi lebih sadar akan hak-hak yang mereka miliki, sehingga partisipasi politik mereka pun meningkat.

Berkat lahirnya kelas menengah, perekonomian Vietnam menjadi hidup karena ada orang-orang yang akan mengkonsumsi barang-barang yang diproduksi oleh perusahaan. Pusat-pusat perbelanjaan yang sebelum Doi Moi hanya sedikit jumlahnya dan sedikit pengunjungnya, menjadi ramai berkat para kelas menengah ini. Dalam satu berita bahkan digambarkan betapa antusiasnya golongan kelas menengah untuk menyerbu pusat perbelanjaan Vietnam ketika diskon. Dapat dikatakan bahwa golongan kelas menengah ini adalah aktor utama yang dapat menunjang sistem perekonomian pasar bebas Vietnam. Hal ini berarti bahwa golongan kelas menengah telah memiliki posisi yang cukup berpengaruh di dalam Vietnam sendiri.

Sebagaimana dijelaskan oleh Habermas, kemunculan kelas menengah baru di Vietnam ini sangat vital dalam melakukan perubahan ruang publik. Sebab kelas menengah ini memiliki akses terhadap media baru, yaitu internet dan social-media yang sulit untuk dikendalikan, bahkan oleh pemerintah Vietnam sendiri. Menurut data yang disampaikan di bab sebelumnya, telah terjadi peningkatan penggunaan smartphone di Vietnam. Hal ini berarti bahwa jumlah penduduk yang dapat mengakses social-media menjadi sangat banyak. Dengan demikian, social-media tersebut telah memenuhi kriteria pertama dari ruang publik ideal menurut Habermas, yaitu dapat diakses oleh semua orang.

Selanjutnya, di dalam social-media para penduduk akan melakukan diskusi. Mereka akan melakukan diskusi mulai dari yang paling sederhana, seperti “Apa kabar?” sampai dengan “Bagaimana pendapatmu tentang pemerintah hari ini?” Para penduduk akan dapat berdiskusi dengan aman di sana. Tidak ada otoritas pemerintah yang dapat mengatur pilihan kata-kata yang mereka gunakan ketika berargumen. Status sosial pun tidak akan dapat mempengaruhi argumen karena semua orang hanya diwakili oleh avatar yang sama dalam sebuah social-media. Dengan demikian, perdebatan yang rasional tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal pun dapat berlangsung di dalam social-media. Dengan demikian, social-media telah memenuhi kriteria kedua dari ruang publik ideal menurut Habermas.

Dengan banyaknya penggunaan smartphone, monopoli negara atas informasi pun mulai rusak. Perlu diingat bahwa penggunaan sosial media melalui teknologi seperti handphonelah yang mendorong terjadinya revolusi menuju demokrasi di Timur Tengah. Karenanya, handphone dan sosial media merupakan unsur demokratisasi yang penting. Masyarakat yang sudah lebih ‘bebas’ dikarenakan liberalisasi ekonomi serta terbukanya kembali Vietnam dengan dunia tidak dapat dipungkiri menjadi faktor yang mendorong munculnya unsur-unsur demokratisasi di Vietnam.

Pada perkembangannya, pemerintah Vietnam menerapkan peraturan untuk mendenda penduduk yang mengkritisi pemerintah melalui social-media. Langkah ini tidak sepenuhnya efektif karena diskusi yang dilakukan di social-media sudah merambat ke dunia nyata. Hal ini dibuktikan oleh protes publik yang terjadi di Vietnam dan tulisan di beberapa media Vietnam terkait kekecewaan terhadap komunisme. Walaupun ada beberapa protes publik yang tidak berhubungan dengan komunisme sekalipun, namun dengan adanya protes publik saja sudah menunjukkan bahwa masyarakat Vietnam telah memiliki kemauan untuk menyampaikan apa yang dipikirkannya secara langsung.

Protes publik adalah sesuatu yang tidak terbayangkan akan dapat terjadi pada masa sebelum Doi Moi dilaksanakan. Sebelum Doi Moi, masyarakat Vietnam hanya berpikir untuk bekerja demi menciptakan kemakmuran negara. Tidak sedikit pun mereka mementingkan kepentingan pribadi. Protes publik tidak mungkin mereka lakukan karena mereka tahu bahwa memprotes negara adalah tindakan yang tidak etis. Dalam kondisi semacam itu, semua hal yang dikatakan oleh Partai Komunis pun menjadi kebenaran. Ruang publik Vietnam pun menjadi terisi oleh argumen-argumen irasional, seperti ‘surga komunal’ lalu ‘kemakmuran bersama’ yang hampir seluruhnya didikte oleh Partai Komunis.

Namun, Vietnam hari ini sangatlah berbeda dari Vietnam sebelum liberalisasi ekonomi dilaksanakan. Masyarakat yang didorong oleh golongan kelas menengah telah memiliki pemikirannya masing-masing. Mereka tidak bisa tinggal diam melihat permasalahan internal yang terjadi dalam Partai Komunis Vietnam, seperti skandal korupsi, cacatnya moral pejabat, kemiskinan yang masih ada. Ditengah-tengah skandal korupsi, terjadi peningkatan kritik publik, dan wartawan mulai menyinggung ketidaksetujuan publik akan Partai Komunis meskipun masih harus dengan berhati-hati. Yang terpenting, argumen-argumen rasional kini telah memenuhi ruang publik Vietnam. Masyarakat telah memiliki kemauan untuk mengutarakan apa yang benar-benar mereka rasakan. Ruang publik ideal yang dapat menunjang demokrasi pun perlahan-lahan mulai tercipta di Vietnam.

Situasi ini kemudian mulai merambat naik ke level pejabat tinggi. Berbagai nama, mulai dari bangsawan, pejabat pemerintah, pejabat partai, sampai militer pun telah mengungkapkan secara langsung penentangan mereka pada komunisme. Mereka ini bukanlah orang-orang biasa. Mereka adalah orang yang dulunya berjuang di samping Ho Chi Minh untuk mati-matian mempertahankan nilai komunisme dari invasi Amerika Serikat. Mereka menyadari bahwa telah terjadi perubahan drastis pada ruang publik Vietnam. Mereka menyadari bahwa desakan-desakan untuk mengimplementasikan nilai-nilai demokrasi mulai muncul.

Ketika pejabat sudah berbicara, maka kebijakan pun akan dibuat. Beberapa kebijakan yang mendukung adanya demokrasi kini mulai dilaksanakan di Vietnam. Standing Comittee of the National Assembly kini telah mengeluarkan sebuah peraturan yang menegaskan bahwa seluruh warga Vietnam memiliki hak untuk berdiskusi, membuat keputusan, dan memberi rekomendasi terkait masalah tertentu. Seorang pengacara civil rights dan mantan anggota loyal Partai Komunis Vietnam yang bernama Le Hieu Dang telah mendirikan sebuah partai oposisi yang bernama Partai Sosial Demokrat. Pembentukan partai ini mengundang aktivis-aktivis pembela civil rights untuk berkumpul di dalam partai baru Dang tersebut. Vietnam juga telah memperkenalkan kode etik buruh di tahun 1994 yang secara efektif memberikan izin bagi buruh untuk melakukan protes, meningkatkan jumlah protes buruh sampai seratus kali selama setahun di Vietnam. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Vietnam mau merespon perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Ini berarti bahwa pemerintah pun telah menjadi bagian dari perubahan ruang publik yang terjadi saat ini.


Kesimpulan

Semua hal yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa diskursus anti-komunisme telah berkembang dengan sangat kuat di Vietnam sebagai akibat dari diskusi yang terjadi di ruang publik. Diskursus anti-komunisme jelas bukanlah sesuatu yang dapat lahir di dalam ruang publik Vietnam sebelum Doi Moi. Kemunculan diskursus ini jelas menandai adanya perubahan yang sangat besar dalam ruang publik di Vietnam.

Perubahan ruang publik tersebut terjadi karena kemunculan kelas menengah baru Vietnam sebagai akibat dari peningkatan ekonomi yang terjadi melalui Doi Moi. Melalui kelas menengah baru tersebut, diskusi-diskusi yang rasional mulai lahir, berawal dari media sosial, sampai ke media fisik, dan bahkan mempengaruhi pejabat tinggi. Diskursus anti-komunisme lahir dari diskusi rasional tersebut, menandai bahwa ruang publik di Vietnam telah mengalami perubahan yang sangat besar. Hal ini membuktikan bahwa liberalisasi ekonomi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kemunculan diskursus antikomunisme yang mengubah ruang publik Vietnam hari ini.

Dengan melihat kenyataan mengenai perubahan ruang publik dan diskursus anti-komunisme, maka kemungkinan terciptanya demokratisasi pun menjadi cukup besar di Vietnam. Namun hal itu masih cukup sulit untuk dibuktikan mengingat China yang sekarang telah mengalami liberalisasi ekonomi dan banyak warga kelas menengah pun masih belum juga demokratis. Namun, kemungkinan tersebut masih ada dan jelas dapat menjadi bahan penelitian yang menarik untuk ke depannya.

Comments

Popular posts from this blog

Hotel Rwanda Analysis; Peran Politisasi Etnisitas sebagai Pemicu Ethnic Cleansing di Rwanda Tahun1994

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)

Pembentukan Regional Peacekeeping Operation untuk Mengatasi Isu Keamanan di ASEAN

Richard Devetak: Memahami Postmodernisme

Patriarki dan Perdagangan Manusia di Indonesia