Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah



Demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan dimana rakyat sebagai objek yang diperintah juga sekaligus menjadi subjek yang memberi perintah. Dengan kata lain, demokrasi adalah sistem dimana rakyat memerintah diri mereka sendiri. Rakyat yang membuat hukum, rakyat yang memilih pemimpinnya, rakyat yang memilih hakim untuk mengadilinya, rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi. Demokratisasi adalah segala upaya yang dilakukan aktor-aktor tertentu untuk mengubah sistem pemerintahan sebuah negara dari non-demokrasi menjadi demokrasi. Umumnya, demokratisasi terjadi pada sistem otoriter, sebab demokrasi dipercaya sebagai antitesis dari sistem otoriter.

Amerika Serikat (AS), sebagai salah satu negara demokrasi tertua dan yang masih berdiri sampai saat ini, memiliki kepentingan untuk menyebarkan sistem demokrasi ke seluruh negara di dunia. Mereka meng-klaim bahwa sistem demokrasi mempromosikan nilai-nilai human liberty yang bersifat universal dan akan bermanfaat bagi perkembangan ekonomi setiap negara. Semenjak mengalahkan Soviet dalam Perang Dingin, AS menjadi semakin yakin akan keunggulan demokrasi dibandingkan dengan sistem lainnya. AS pun menjadikan demokratisasi sebagai politik luar negerinya yang diwujudkan dalam bentuk intervensi ke berbagai negara otoriter, seperti Irak, Somalia, Bosnia, Kosovo, Afghanistan, Sudan, Pakistan, Yemen, dan terakhir, Libya.

Dalam tulisan ini, saya ingin berargumen bahwa demokratisasi seharusnya tidak boleh menjadi politik luar negeri. Saya juga ingin menekankan bahwa sebuah negara seharusnya tidak boleh memaksakan nilai-nilai yang dimilikinya untuk menjadi nilai universal. Sebab demokrasi adalah sebuah sistem yang hanya dapat berjalan di suatu masyarakat yang sudah menjunjung tinggi nilai-nilai liberal. Di dalam masyarakat liberal, terdapat perasaan egaliter, dimana setiap individu sadar bahwa ia memiliki kedudukan yang sama dengan individu lainnya. Hukum dijadikan sebagai pedoman agar setiap individu yang memiliki kedudukan sama tersebut tidak berkonflik satu sama lain, sehingga ketaatan terhadap hukum menjadi amat penting di masyarakat liberal. Norma atau tradisi tidak menjadi pedoman karena mereka percaya bahwa hukum yang dibuat dengan buah pemikiran mereka sendiri dan dapat diubah-ubah sesuai keinginan merekalah yang dapat lebih diandalkan dibandingkan norma dan tradisi yang kaku dan diciptakan oleh leluhur mereka.Nilai-nilai itulah yang mengarahkan mereka untuk berpartisipasi dalam politik, untuk memilih pemimpin mereka di saat pemilu, dan yang terpenting, untuk taat kepada hukum yang mereka buat sendiri. Demokrasi hanya dapat berjalan di tengah masyarakat yang demikian.

Sebaliknya, Demokrasi tidak dapat berjalan di masyarakat yang masih menganut nilai-nilai feudal dimana di dalamnya masih terdapat strata sosial. Strata sosial di tengah masyarakat feudal adalah penghambat utama bagi berkembangnya demokrasi. Sebab strata sosial akan menciptakan kesadaran bahwa sebagian orang memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan sebagian orang lainnya. Dalam keadaan demikian, kata-kata yang diberikan oleh orang dengan strata sosial yang lebih tinggi tersebut pun menjadi hukum bagi mereka yang memiliki strata sosial lebih rendah. Jika demokrasi diterapkan di dalam masyarakat feudal, maka hanya mereka yang memiliki strata sosial tinggilah yang dapat memanfaatkannya. Sebab mereka yang memiliki strata sosial rendah tidak akan berani untuk bersaing dengan mereka yang memiliki strata sosial lebih tinggi. Sekuat apapun hukum yang diciptakan tidak akan mengubah kesadaran orang-orang yang memiliki strata rendah tersebut karena mereka sudah terikat oleh norma dan tradisi yang menyataka bahwa mereka harus menaruh hormat pada mereka dengan strata sosial yang lebih tinggi. Dengan kata lain, norma dan tradisi adalah yang menjadi pedoman bagi masyarakat feudal, bukan hukum. Oleh sebab itu, sistem demokrasi yang diterapkan di tengah masyarakat feudal hanya akan menciptakan oligarki akibat distribusi kekuatan yang tidak merata dan terpusat hanya pada golongan elit yang memiliki strata sosial tinggi saja.

AS meng-klaim bahwa dengan menerapkan sistem demokrasi, maka nilai-nilai liberal akan tumbuh dengan sendirinya. Namun, fakta di lapangan telah membuktikan bahwa pernyataan mereka adalah salah. Seusai Perang Irak, AS meng-install rezim demokrasi di negara tersebut. AS menyiapkan segalanya, mulai dari konstitusi, lembaga-lembaga pemerintahan, sampai membangun infrastruktur yang menyerupai rezim demokrasi di AS. Namun, setahun berjalan dan setiap pemilu yang dilaksanakan selalu berujung konflik. Pihak yang kalah dalam Pemilu tetap memiliki kekuatan yang berasal dari masyarakat berstrata rendah yang mendukungnya. Hukum yang dibuatkan oleh AS tidak berdaya melawan nilai feudal yang masih tertanam di dalam masyarakat Irak. Akibatnya, demokrasi pun tumbang di Irak dan kini negara tersebut dikuasai oleh kelompok Islam Syiah yang kerap melakukan aksi diskriminatif pada warga Islam Sunni.

Kegagalan demokratisasi Irak merupakan bukti bahwa nilai liberal bukanlah sebuah nilai yang dapat ditanamkan secara paksa. Nilai liberal hanya dapat tumbuh jika sebuah masyarakat secara kolektif bersepakat dalam menginginkan dan menjunjung tinggi nilai tersebut. Memaksakan sebuah nilai liberal kepada masyarakat feudal yang merupakan antitesisnya hanya akan berujung pada penolakan dan pengulangan kasus Irak. Presiden Woodrow Wilson sesungguhnya sudah menyadari hal ini dan telah memperingatkannya di masa pemerintahannya. Wilson, seusai Perang Dunia I berkata pada warga di seluru dunia:
No people must be forced under sovereignty under which it does not wish to live.
Selain itu, dalam artikel 3 dari draft Covenant of the League of Nations, Wilson juga menulis:
The Contracting Powers unite in guaranteeing ... territorial adjustments ... as may in the future become necessary by reason of changes in the present social conditions and aspirations or present social and political relationships, pursuant to the principle of self-determination.
Terlihat jelas bahwa Presiden Woodrow Wilson yang merupakan salah seorang founder dari teori Liberalisme pun menekankan dengan jelas pentingnya setiap negara untuk menghargai prinsip self-determination yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Bahwa setiap masyarakat tidak boleh dipaksa oleh negara yang mereka tidak ingin hidup di dalamnya. Bahwa setiap masyarakat memiliki hak untuk memilih sendiri sistem sosial-politik yang mereka inginkan untuk ada di negaranya. Oleh sebab itu, menjadikan demokratisasi sebagai sebuah politik luar negeri sama artinya dengan AS telah mengkhianati keinginan leluhurnya sendiri.

Berdasarkan tulisan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa demokrasi bukanlah sebuah sistem yang dapat diterapkan di seluruh negara di dunia. Bahwa demokrasi tidak akan mampu mempromosikan nilai-nilai liberal karena hanya akan berujung pada penolakan. Dengan demikian, pemahaman bahwa nilai liberal akan tiba-tiba muncul begitu demokrasi diterapkan seharusnya mulai ditinggalkan. Pemahaman yang seharusnya dipromosikan adalah untuk menerapkan demokrasi, nilai-nilai liberal-lah yang harus ada terlebih dahulu. Tanpa keberadaan nilai liberal yang telah tertanam kuat di dalam masyarakat, maka demokratisasi pun tidak akan berhasil. Itulah sebabnya saya tidak setuju untuk menjadikan demokratisasi sebagai bentuk politik luar negeri.

Comments

Popular posts from this blog

Hotel Rwanda Analysis; Peran Politisasi Etnisitas sebagai Pemicu Ethnic Cleansing di Rwanda Tahun1994

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)

Pembentukan Regional Peacekeeping Operation untuk Mengatasi Isu Keamanan di ASEAN

Richard Devetak: Memahami Postmodernisme

Patriarki dan Perdagangan Manusia di Indonesia