Benedict Anderson dan Donald Weatherbee: Asal Usul Asia Tenggara



Ketika kita membicarakan kata “Asia Tenggara,” kita sesungguhnya sedang membicarakan sebuah konsep politik yang diciptakan dengan suatu kepentingan dan latar belakang tertentu. Bagaimana konsep “Asia Tenggara” dapat terbentuk, mengapa harus konsep “Asia Tenggara” yang terbentuk, dan apa yang mengkonstitusi negara-negara untuk menjadi bagian dari konsep “Asia Tenggara” merupakan poin-poin penting yang dibahas oleh Benedict Anderson dan Donald E. Weatherbee dalam bukunya. Tulisan ini akan berusaha mengkomparasikan chapter pertama dari buku kedua penulis di atas, secara spesifik pada bagian penjelasan mengenai asal-usul Asia Tenggara.

Anderson dan Weatherbee setuju bahwa konsep “Asia Tenggara” merupakan konsep yang diciptakan oleh pihak eksternal dan bukan dari internal wilayah geografis Asia Tenggara sendiri. Konsep “Asia Tenggara” pertama kali diperkenalkan ke dunia internasional pada 1943 melalui pembentukan Southeast Asia Command (SEAC) di Ceylon, yang sekarang menjadi Sri Lanka. Walaupun Sri Lanka kini tidak menjadi bagian dari Asia Tenggara, namun pembentukan SEAC mengarahkan pada terciptanya beragam literatur Barat yang menggunakan kata “Asia Tenggara” sebagai judulnya, membuat konsep tersebut menjadi semakin populer.

Benedict Anderson
Orang-orang Asia Tenggara, di lain pihak, sama sekali tidak menyadari soal penamaan “Asia Tenggara” pada wilayah mereka dan sama sekali tidak terpikir untuk menyatukan diri dengan identitas “Asia Tenggara.” Anderson menjelaskan bahwa hal ini terjadi karena tidak pernah ada satu kekuatan hegemon di Asia Tenggara. Anderson membandingkannya dengan kawasan Timur Tengah yang memiliki Dinasti Ottoman dan Amerika Latin yang memiliki Habsburg dan Bourbons. Asia Tenggara di lain pihak terdiri dari kerajaan-kerajaan besar yang memiliki sejarah perselisihan, seperti Majapahit, Ayudhya, Vientiane, Angkor, dan Pagan. Selain itu, kondisi negara-negara Asia Tenggara yang dijajah oleh kekuatan yang berbeda membuat setiap negara lebih mengenal negara penjajahnya dibandingkan negara tetangganya. Faktor-faktor inilah yang membuat tidak adanya kesadaran untuk menyatukan diri di bawah identitas “Asia Tenggara” di antara orang-orang yang tinggal di wilayah tersebut.

Donald E. Weatherbee
Konsep “Asia Tenggara” kemudian menjadi matang pada masa pasca-Perang Dunia II. Weatherbee menjelaskan bahwa setelah merdeka dari kolonialisme, negara-negara Asia Tenggara didesak oleh kebutuhan untuk mendapatkan akses ke pasar dan kapital internasional untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Hubungan baik dengan negara-negara tetangga pun dibutuhkan untuk mendapatkan akses tersebut. Selain itu, dunia pasca-Perang Dunia II juga menandai dimulainya Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk membendung pengaruh komunis di kawasan Asia Tenggara. Kehadiran Amerika Serikat yang begitu kuat di Asia Tenggara ini menjadi jawaban atas ketidakhadiran kekuatan hegemon tunggal di Asia Tenggara yang dapat mengarahkan pada terciptanya penyatuan kawasan. Terbukti bahwa Amerika Serikat mempelopori dibentuknya Southeast Asia Treaty Organization (SEATO), Association of Southeast Asia (ASA), dan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Pembentukan organisasi-organisasi regional inilah yang kemudian mengkonstitusi suatu negara untuk menjadi bagian dari konsep “Asia Tenggara.” Selama suatu negara menjadi anggota dari ASEAN, maka tidak peduli negara tersebut mayoritas penduduknya adalah Islam, Hindu, atau Budha, negara tersebut adalah bagian dari Asia Tenggara.

Dari komparasi di atas, kita dapat menemukan sejumlah kesamaan dalam pemikiran Anderson dan Weatherbee terkait “Asal Usul Asia Tenggara” yang saling mendukung satu sama lain. Pertama, tidak pernah ada kesadaran internal terkait pembentukan konsep “Asia Tenggara.” Pembentukan konsep “Asia Tenggara” sendiri diinisiasi oleh pihak eksternal, utamanya Amerika Serikat, karena adanya kepentingan untuk memenangkan pengaruh di tengah Perang Dingin. Organisasi Regional adalah satu-satunya alasan yang dapat menjadi basis kompromi bagi perbedaan-perbedaan yang amat banyak di Asia Tenggara. Oleh sebab itu, Amerika Serikat sangat mendukung terbentuknya organisasi regional di Asia Tenggara. Berdasarkan komparasi kedua literatur di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Asia Tenggara sebagai sebuah konsep politik adalah konsep yang amat ekslusif pada pihak-pihak elit negara saja. Pada tingkat masyarakat, mereka tidak pernah benar-benar merasa menjadi bagian dari Asia Tenggara, namun karena pihak elit negaranya telah berkompromi dengan membentuk organisasi regional ASEAN, maka masyarakat pun otomatis tergabung dalam konsep tersebut. Dengan menyadari situasi ini, maka Asia Tenggara pada tingkat masyrakat untuk menjadi bentuk komunitas, seperti yang diharapkan dalam ASEAN Community menjadi amat sulit.

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana Menjadikan Demokratisasi sebagai Agenda Politik Luar Negeri akan menjadi Masalah

Donald E. Weatherbee: 50 Tahun ASEAN Bukanlah Indikator Keberhasilan Regionalisme

Politik Luar Negeri

Kemerosotan Norma Keamanan Manusia dalam Kebijakan Imigrasi Australia Pasca-1992

Awal dari Kejatuhan: Perkembangan Diskursus Anti-Komunisme di Ruang Publik Vietnam Pasca-Doi Moi