Siapa Aku?: Ulasan Singkat Buku Asal Usul Kedaulatan

Pernahkah kamu memandang cermin dan bertanya, "Siapa kamu?" pada sosok yang memandangmu dari balik kaca tersebut? Aku sering melakukannya, terutama akhir-akhir ini.

Aku bisa bilang bahwa saat ini aku sedang berada pada titik dimana jati diriku telah terdefinisi dengan baik. Aku seorang laki-laki dewasa bergelar sarjana yang bekerja pada sebuah lembaga internasional ternama. Aku juga seorang kakak, seorang anak, seorang kekasih, seorang sahabat, seorang rekan, seorang gamer, dan sampai taraf tertentu seorang introvert.

Aku mengenakan kemeja jeans seharga 300.000, sebuah celana bahan seharga 250.000, dan sebuah sepatu Pantofel seharga 2 Juta. Tidak terlalu mahal tapi juga tidak murah, ciri khas seorang kelas menengah pada umumnya. Ya, aku adalah seorang manusia pekerja kelas menengah. Semua identitas-identitas itu melekat padaku dan mendefinisikanku.

Problemnya adalah, apakah benar itu adalah aku?

Ambil seluruh pakaian yang melekat padaku dan suruh aku berjalan di tempat umum dan identitasku akan beralih dari pekerja kelas menengah menjadi orang gila. Laporkanlah bahwa aku telah melakukan plagiarisme maka identitasku akan beralih dari seorang sarjana menjadi pemlagiat. Tinggalkanlah aku dan aku tidak akan lagi menjadi sahabat ataupun kekasih.

Semua identitas-identitas yang melekat padaku adalah sesuatu yang kudapat dari melakukan sesuatu dan mereka akan tetap melekat padaku selama aku tetap konsisten dalam tindakanku. Begitu tindakanku melenceng sedikit saja, maka identitas tersebut akan hilang atau setidaknya dipertanyakan.

Tidak ada satu pun yang otentik dari identitas-identitasku, semuanya adalah konstruksi masyarakat. Sosok yang memandangku dari balik cermin itu bukanlah aku. Dia hanyalah tubuh yang telah ditempeli dengan berbagai macam label dari masyarakat. Dia adalah makhluk simbolik yang eksistensinya bergantung pada rezim kebohongan.

Lalu siapa aku?

Di balik seluruh label-label identitas yang melekat kepadaku, apakah di situ ada aku yang sejati? Jika ada, seperti apakah ia? Atau lebih penting lagi, masihkah ia hidup? Atau sudah lama mati? Masih bisakah aku melepas semua label yang melekat padaku dan menghidupkannya lagi? Masih bisakah aku menjadi aku?

Sungguh pertanyaan yang tidak ada habisnya dan ini semua adalah salah buku ini:


Agak aneh sebenarnya ketika membaca buku mengenai negara lalu malah jadi mempertanyakan hal-hal yang berbau psikologi. Tapi mau gimana lagi? Buku ini sendiri juga aneh dan cenderung nyleneh. Premis utama dalam buku ini adalah bahwa negara sebagai sebuah entitas memiliki simtom untuk terus berdaulat dan mempertahankan kedaulatannya meskipun upaya tersebut mengharuskan adanya kenestapaan dari warganya ataupun kekerasan bagi negara lain.

Tapi tunggu dulu, negara memiliki simtom? Ya, buku ini membenarkan dalil yang mengatakan bahwa negara merupakan sebuah makro-subjek, seorang manusia besar. Namun buku ini tidak sekedar menganalogikan negara sebagai makro-subjek begitu saja seperti layaknya buku-buku HI pada umumnya (halo Kenneth Waltz), namun buku ini melacak peristiwa-peristiwa historis yang memungkinkan negara dapat menjadi sebuah makro-subjek. Dengan kata lain, bukan hanya membenarkan, namun buku ini juga melegitimasi dalil tersebut melalui landasan-landasan ilmiah.

Bagaimana caranya? Penulis buku ini menyebut metodenya dengan istilah Psikogenealogi, sebuah gabungan dari psikoanalisis dan genealogi. Subjek Lacanian merupakan teori utama yang digunakan untuk pendekatan psikoanalisis dari penulis. Subjek Lacanian secara singkat (dan mungkin ngawur) adalah subjek yang senantiasa gegar  dalam upaya pemenuhan hasratnya untuk menciptakan kedirian yang utuh. Subjek Lacanian tidak memiliki identitas yang otentik karena seluruh identitasnya merupakan hasil dari upayanya untuk bercermin pada sebuah cerminan ideal yang tercipta akibat fantasinya. Cerminan ideal tersebut adalah objek hasrat yang harus dipenuhi oleh subjek Lacanian dengan cara apapun (termasuk kekerasan) demi terciptanya perasaan kedirian yang utuh.

Permasalahannya, ketika subjek Lacanian berusaha untuk menjadikan dirinya seperti apa yang ada dalam cerminan idealnya, subjek pun harus mengabjeksikan (aku tidak yakin tapi kurasa maknanya adalah menyingkirkan) segala hal yang tidak ada atau dapat merusak cerminan ideal tersebut. Oleh sebab itu, subjek Lacanian selalu dihantui oleh kembalinya abjek dari cerminan idealnya atau bahkan rusaknya cerminan ideal itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan subjek Lacanian senantiasa gegar dan mengupayakan segala cara (lagi-lagi, termasuk kekerasan) untuk memastikan dirinya tetap sesuai dengan cerminan idealnya.

Ada satu quote yang cukup menarik dari buku Supernova karangan Dee yang kurasa cocok dengan deskripsi Subjek Lacanian ini. Aku tidak begitu ingat, tapi quote-nya kira-kira begini: "Aku baru menyadari bahwa selama ini aku tidak mencintainya tapi aku mencintai diriku sendiri. Aku mencintai diriku yang mencintainya." Subjek Lacanian adalah subjek yang narsis. Bagi subjek Lacanian, tidak ada yang lebih penting daripada perasaan kedirian yang utuh. Oleh karena itu, ketika subjek Lacanian mencintai seseorang, sesungguhnya yang menjadi objek hasratnya bukanlah orang tersebut melainkan cerminan akan dirinya yang mencinta. Maka ketika sang subjek mengatakan, "Aku takut kehilanganmu," sesungguhnya yang ia takutkan bukanlah kehilangan sang kekasih melainkan kehilangan dirinya yang mencintai sang kekasih. Lumayan dalam kan?

Lalu Genealogi. Pada dasarnya, Genealogi adalah studi tentang sejarah namun bukan sejarah itu per se, melainkan bagaimana atau mengapa peristiwa sejarah yang demikian dapat terjadi. Ketika seorang sejarawan hanya mengumpulkan fakta-fakta dari masa lampau dan mengkristalkannya dalam sebuah media dan ahli hermeneutika hanya memaknai fakta-fakta tersebut, Genealogi berusaha mencari tahu mengapa fakta-fakta tersebut yang terjadi dan bukan fakta lainnya? Mengapa Jepang yang dibom dan bukan Jerman? Mengapa yang berpenis disebut laki-laki dan yang bervagina disebut perempuan dan bukan sebaliknya? Mengapa? Dengan kata lain, Genealogi berusaha untuk menganalisis segala percabangan kemungkinan yang dapat terjadi dalam sejarah masa lampau lalu mencaritahu mengapa 'cabang a' yang dipilih dan bukan 'cabang b'.

Menurut interpretasiku (yang mungkin saja ngawur), Psikogenealogi adalah studi genealogi yang dilakukan secara khusus terhadap psikologi manusia. Hal ini tercermin dari upaya penulis dalam buku ini untuk menelusuri seluruh gagasan yang terkandung pada setiap manusia-manusia yang terlibat dalam pembentukan konsep kedaulatan atau negara modern yang secara umum termaktub dalam Perjanjian Westphalia (atau Skandal Westphalia menurut penulis buku ini) tahun 1648.

Upaya penelusuran dimulai dari masa yang biasa disebut Dark Ages pada sekitaran Abad ke-13, masa dimana Kerajaan-Kerajaan Eropa bersatu di bawah payung Imperium Suci Romawi dan Gereja. Pada masa ini, Raja-Raja di Eropa dapat dikatakan tidak memiliki kebebasan. Setiap hal yang mereka lakukan pasti akan direcokin oleh Kaisar dan Paus. Bukan hanya itu, teritori mereka pun dapat dirampas kapan saja oleh kerajaan lain ataupun bandit. Kemudian rakyat pun sewaktu-waktu dapat melakukan pemberontakan yang semakin melemahkan posisi kerajaan ketika dihadapkan pada invasi dari luar. Para Raja pun mendambakan sebuah cerminan ideal dimana mereka dapat memiliki kedaulatan atau otonomi penuh terhadap teritorinya, dimana tidak akan ada kekuatan dari atas (Kaisar dan Paus) ataupun dari samping (kerajaan lain dan bandit) yang akan melakukan intervensi.

Pada saat itulah, terjadi peristiwa Renaissance yang dapat dimaknai sebagai pelemahan pengaruh Gereja dalam kehidupan. Jika sebelumnya manusia hidup semata-mata hanya untuk mengabdi pada dogma-dogma gereja, Renaissance berusaha menunjukkan penghargaan lebih tinggi pada manusia dengan mengatakan bahwa mereka adalah subjek yang unik, utuh, otonom, dan rasional. Para Raja menyukai cerminan deskripsi tersebut sehingga mereka menjadikannya sebagai objek hasratnya. Sebuah negara yang seperti manusia, unik, utuh, otonom, dan rasional serta tentu saja dipimpin oleh Raja tersebut.

Intensitas para Raja untuk menjadikan kerajaannya seperti manusia modern a la Renaissance bukanlah tanpa kepentingan. Pada Abad Pertengahan, raja dan kerajaannya tidak dapat dipisahkan karena terdapat doktrin yang menyatakan bahwa Raja merupakan kepala dari kerajaan yang merupakan tubuh mistisnya. Jika laki-laki adalah kepala keluarga dan perempuan adalah tubuh keluarga (yang tentu saja sangat patriarkis, tapi dipercaya kuat pada masa tersebut), maka dapat dikatakan bahwa raja telah menikahi kerajaannya untuk menjadi kepala dari kerajaan yang dianggap sebagai tubuh kedua (mistis)-nya. Dengan demikian, ketika para Raja berupaya untuk menjadikan tubuh mistisnya sebagai tubuh yang unik, utuh, otonom, dan rasional, maka raja sebagai kepalanya pun akan diuntungkan karena dia akan memiliki kekuatan yang tak pernah dimilikinya sebelumnya, yaitu kekuatan untuk berdaulat.

Upaya para Raja untuk memenuhi objek hasratnya dapat dilihat dalam berbagai perang yang terjadi pada Abad Pertengahan dan pada akhirnya memenuhi keberhasilannya dalam Perjanjian Westphalia tahun 1648. Sebagaimana diketahui oleh kebanyakan sarjana HI, Perjanjian Westphalia merupakan perjanjian damai yang mengakhiri Perang 30 tahun antara kerajaan-kerajaan di Eropa pada Abad Pertengahan sekaligus merupakan blueprint bagi terciptanya negara modern yang berdaulat dan mengakui kedaulatan negara lain.

Aku sangat suka dengan bagaimana penulis buku ini menggambarkan Perjanjian Westphalia sebagai Skandal Westphalia. Sebuah peristiwa dapat dikatakan scandalicious ketika terjadi persekongkolan dan persekongkolan terjadi ketika terdapat sebuah perjanjian yang disepakati tanpa melibatkan seluruh pihak yang dapat terkait oleh perjanjian tersebut. Menurut buku ini, Perjanjian Westphalia adalah sebuah persekongkolan yang dilakukan para Raja untuk melenyapkan pengaruh Kaisar dan Paus terhadap kerajaan. Lebih dari itu, Perjanjian Westphalia juga bermaksud untuk melenyapkan segala bentuk entitas yang bukan kerajaan.

Hal ini dilakukan dengan pertama, tidak mengundang perwakilan dari Kekaisaran dan Gereja dalam pembuatan Perjanjian Westphalia. Kedua, Perjanjian Westphalia menetapkan bahwa setiap kerajaan akan diperbolehkan untuk memerintah teritorinya secara otonom tanpa dipengaruhi oleh siapa pun yang berasal dari luar kerajaannya dan bahwa masing-masing kerajaan harus dapat mengakui otonomi yang dimiliki oleh kerajaan lain. Secara tidak langsung, perjanjian ini menetapkan bahwa mereka yang tidak memiliki teritori tidak akan memiliki kedaulatan, sehingga terekslusi dari perjanjian ini (bandit, tentara bayaran, Liga Dagang Hanseatic). Hal yang sama juga berlaku bagi mereka yang tidak mau mengakui kedaulatan kerajaan (Kekaisaran dan Gereja), mereka pun akan tereksklusi dari perjanjian ini.

Pada akhirnya, pihak yang tereksklusi dari Perjanjian Westphalia kehilangan pengaruhnya secara perlahan-lahan. Kekaisaran mulai kehilangan kendali atas kerajaan-kerajaan di bawahnya, Gereja mulai tidak didengarkan oleh para Raja, dan Liga Dagang Hanseatic (yang tidak sempat dibahas  di tulisan ini tapi banyak dibahas di buku) tidak lagi diindahkan oleh kota-kota yang menjadi anggotanya karena kebanyakan dari mereka sudah bergabung dengan kerajaan yang berdaulat. Kemudian bagi mereka yang melawan keputusan dari Perjanjian Westphalia? Terdapat pasal yang memperbolehkan kerajaan untuk melakukan segala cara, termasuk kekerasan, untuk mengenyahkan perlawanan tersebut. Dengan demikian, tidak salah jika Perjanjian Westphalia dikatakan sebagai skandal Westphalia.

Lima abad sesudah Perjanjian Skandal Westphalia, gagasan mengenai negara yang berdaulat dan mengakui kedaulatan masing-masing negara masih diterapkan dan bahkan sudah dinormalisasi. Hari ini, sulit bagi mereka yang tidak belajar HI untuk membayangkan dunia tanpa negara karena mereka lahir di masa dimana negara sudah diterima sebagai sebuah kenyataan yang tak terelakkan.

Demikianlah penulis buku ini mengajak pembaca untuk menelusuri asal-usul terciptanya negara berdaulat yang ternyata tercipta akibat kegalauan para Raja di Abad Pertengahan akan ketidakbebasan dirinya dan ketidakmampuannya mencapai kedirian yang utuh. Dengan bercermin pada citraan manusia Renaissance yang unik, utuh, otonom, dan rasional, para Raja bersekongkol untuk menciptakan perjanjian Westphalia yang pada akhirnya mentransendensi negara dari subjek Kekaisaran atau Gereja menjadi subjek yang berdaulat. Melalui telusur Psikogenealogi inilah buku ini membenarkan dalil bahwa negara tidak lain adalah sebuah makro-subjek, seorang manusia Renaissance namun dengan skala yang lebih besar.

Dampak dari temuan ini adalah bahwa penelitian tentang negara, menurut penulis buku ini, tidak akan pernah lepas dari penelitian tentang manusia. Memahami sifat negara pun harus dilakukan sama seperti memahami sifat manusia yang termaktub dalam teori Subjek Lacanian. Dengan demikian, negara pun akan terkutuk selamanya untuk menjadi subjek yang gegar dalam mengejar objek hasratnya, yakni kedirian yang unik, utuh, otonom, dan rasional.

Dengan memahami konsekuensi inilah, penulis buku ini mencoba untuk memaknai Global War on Terror sebagai upaya Amerika Serikat untuk meraih cerminan idealnya yang telah dirusak akibat kembalinya abjek dari negara berdaulat, yaitu para bandit di Abad Pertengahan yang bermetamorfosis menjadi Teroris Internasional. Bagi Amerika Serikat, peristiwa 9/11 merupakan peristiwa yang telah menghancurkan jati dirinya sebagai negara adidaya yang berdaulat.

Untuk meraih jati diri tersebut kembali, Amerika Serikat pun melakukan segala cara, mulai dari merampas kebebasan warganegaranya sendiri dengan UU USA PATRIOT, menyerang Afghanistan, seolah-olah mereka bukan negara berdaulat, bahkan sampai menyiksa orang-orang yang diduga teroris di Guantanamo Bay. Semua upaya yang disebut di atas tidak ada yang berhasil. Para pengikut kepala Teroris di Afghanistan yang telah dibunuh oleh tentara AS terus bereplikasi dan membentuk jaringan baru, hampir seluruh tahanan-tahanan yang telah disiksa di Guantanamo Bay terbukti tidak terlibat dengan terorisme, dan UU USA PATRIOT malah disalahgunakan untuk menyadap oposisi.

Menurut buku ini, tidak ada cara untuk memahami tindakan-tindakan yang dilakukan AS semasa Global War on Terror selain melalui kacamata subjek Lacanian. Tindakan-tindakan AS yang membabi buta dan terkesan irasional seusai 9/11 mengindikasikan bahwa mereka sesungguhnya tidak pernah berupaya untuk mengembalikan rasa aman warga AS dan dunia sebagaimana yang kerap dikemukakan Bush, melainkan untuk mengembalikan jati dirinya sebagai negara berdaulat yang dapat memberikan keamanan terhadap warganya.

Konsekuensi dari kesimpulan ini adalah bahwa negara-negara sebenarnya tidak pernah sekalipun ada untuk memenuhi kesejahteraan dan keamanan bagi warganya. Sebab motif negara selalulah motif yang berlandaskan pada pemenuhan jati diri. Dengan kata lain, bahkan ketika negara melakukan hal yang positif terhadap warganya, seperti memberikan subsidi atau keringanan pajak, maka hal tersebut bukanlah dilakukan untuk mensejahterakan rakyatnya melainkan untuk mempertahankan citra negara sebagai pensejahtera rakyat. Tujuannya? Apalagi kalau bukan mengambil hati rakyat agar tetap loyal kepada negara dan berdiam di teritori yang merupakan unsur konstitutif bagi eksistensi negara itu sendiri. Oke, ini jadi sangat dalam ya?

Pada akhirnya, layaknya buku-buku dekonstruktif pada umumnya, buku ini membuat kita mempertanyakan ulang kebenaran akan dunia ini. Dalam buku ini, kita dibuat bertanya, benarkah negara tercipta dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat? Kalau negara tercipta hanya untuk dirinya sendiri, lantas untuk apa menjadi warganegara? Apakah ada cara untuk melakukan perubahan? Untungnya ya, penulis buku ini memberikan harapan bahwa perlawanan itu mungkin.

Bagi penulis buku ini, kesalahan terbesar yang dapat dilakukan dalam melakukan perlawanan terhadap negara adalah dengan mengatributkan predikat 'imortal' kepada negara dengan cara berpikir bahwa kita tidak dapat hidup tanpa negara. Sebab negara merupakan sebuah konsep yang dilahirkan dan oleh karena itu dapat dibunuh. Jadi masih ada harapan bagi para aktivis perlawanan (walaupun aku tidak tahu apakah penulis buku ini memang ingin memberi harapan atau hanya ingin menjaga citra dirinya sebagai pemberi harapan, lol).

Tapi bagiku, pertanyaan terbesar justru muncul ketika aku membaca penjelasan mengenai Subjek Lacanian. Apakah aku adalah aku? Adalah pertanyaan yang terus kuulang-ulang selama beberapa hari ini dan entahlah, aku tidak tahu bagaimana menjawabnya.

Anyway, tulisan ini sepertinya jadi terlalu panjang dan aku yakin tidak ada yang akan tertarik untuk membacanya. Tapi toh tidak apa-apa, sebab aku tidak pernah menulis untuk siapapun melainkan untuk diriku sendiri. Diriku yang suka menulis. Sekian!

P.S.: Dan sepertinya aku lupa menyebut nama penulis dari buku ini. Really love your book Mas Yosh! Tetap berkarya =D








Comments

Popular posts from this blog

Dinamika Perubahan Norma Internasional (Review Makalah Finnemore dan Sikkink)